Selasa, 11 Januari 2011

Persatuan Bangsa Capai Damai Di Dunia


Manusia adalah mahluk sosial yang hidup bermasyarakat. Sejak jaman dahulu manusia telah bersatu padu hidup berkelompok, saling bantu-membantu dalam kehidupan sehari-hari, baik mencari nafkah dengan jalan berburu, bercocok tanam, maupun menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar seperti membangun jembatan, serta mempertahankan diri terhadap serangan musuh.
Manusia pada dasarnya ingin hidup aman, tentram, damai, sejahtera demi mencapai kebahagiaan. Hal mana sesuai Firman Tuhan, manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dikaruniai roh dan nyawa yang mendukung dan menjadikannya memiliki kehidupan jasmaniah, seperti juga dimiliki mahluk hidup lain yang bersifat hewani. Oleh karena itu, manusia juga membutuhkan berbagai nafsu, naluri, dan dorongan-dorongan untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmaninya, sedangkan roh yang mendukung menjadikan hidup rohaninya tumbuh dan berkembangnya benih-benih kebajikan yang merupakan tugas mulia mengemban Firman Tuhan, menjalani kehidupan sebagai manusia.
Firman Tuhan itulah dinamai watak sejati. Hidup mengikuti watak sejati itulah dinamai menempuh Jalan Suci. Bimbingan untuk menempuh jalan suci itulah dinamai Agama (Kitab Tengah Sempurna Bab Utama Ayat 1). Dari watak sejati tumbuh sifat-sifat luhur, cinta kasih, kesadaran menjunjung tinggi kebenaran, berbuat susila, bertindak bijaksana dan adil, dan dapat dipercaya (Lima Kebajikan Mulia). Sedangkan di bagian nyawa yang mendukung kehidupan jasmani tumbuh dan berkembang berbagai jenis nafsu yang dipresentasikan dalam perasaan gembira, marah, sedih, senang, susah, dan lain-lain yang wajib dikendalikan agar tetap di dalam batas tengah dan harmonis.
Tengah itulah pokok besar daripada dunia, dan keharmonisan itulah cara menempuh Jalan Suci di dunia (Kitab Tengah Sempurna Bab Utama Ayat 4). Bila dapat terselenggara Tengah dan Harmonis, maka kesejahteraan akan meliputi langit (di sana) dan bumi (di sini), segala mahluk dan benda-benda akan terpelihara (Kitab Tengah Sempurna Bab Utama Ayat 5).
Untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan hidup, maka persatuan bangsa hendaknya dapat dipertahankan. Karena bangsa terdiri atas beragam ethnis, suku, ras, agama, golongan, atau kelompok, yang mana memiliki sifat-sifat, kebiasaan, ragam budaya yang berbeda, tetapi semua dapat dirangkum jadi satu, Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetap satu. Dengan sikap bijak kita menganalisa tiap permasalahan yang timbul, guna mencari solusi jalan keluar terbaik, tidak bertindak anarkis, sikap toleransi, saling harga-menghargai dalam hubungan yang harmonis.

Konsep Satya dan Tepa Sarira
Ajaran Nabi Khongcu menegaskan satya pada Tuhan dan tepasarira kepada sesama manusia. Yang benar-benar dapat menyelami hati akan mengenal watak sejatinya, yang mengenal watak sejatinya akan mengenal Tuhan. Jagalah hati, periharalah watak sejati, demikianlah mengabdi kepada Tuhan. Tentang usia pendek atau panjang, jangan bimbangkan, siaplah dengan membina diri, demikianlah menegakkan Firman (Kitab Meng Zi Jilid VIIA ayat 1 )
Kata satya dan tepasarira terukir dalam Genta (Lambang Agama Khonghucu) agar umat Khonghucu selalu iling dan waspada perihal perilaku satya dan tepa sarira. Apa yang diri kita tidak inginkan, janganlah berikan/berbuat terhadap orang lain, penuh tenggang rasa.
Uang kepeng (Pis Bolong) dan Hio (Dupa bergagang) juga dipakai oleh umat lain. Sedangkan capcay, fuyung hai, shio may, lumpia, tahu, taoco, tauge, bukan hanya dinikmati oleh umat Khonghucu saja, melainkan dinikmati oleh kalangan luas, khalayak ramai. Adakah kita merasakan sebagai suatu keanehan? Tentu saja tidak, itulah bukti nyata dari perpaduan yang harmonis.
Banyak bangsa-bangsa lain dari empat penjuru dunia datang ke bumi nusantara, selain menikmati keindahan alam, peninggalan sejarah, juga beragam budaya yang jelas berbeda dari tempat dimana mereka berasal. Kita sebagai tuan rumah menyambut hangat kedatangan mereka, bukan hanya dari segi ekonomi, melainkan dari hati sanubari yang mendalam penuh ketulusan. “Empat penjuru lautan semua adalah saudara”

Adanya korban bencana alam gempa dan tsunami di Mentawai, Meletusnya Gunung Merapi di Yogyakarta, kita juga tergerak memberikan bantuan atas dasar kemanusiaan dilandasi oleh budi yang luhur, dituntun oleh gemilangnya kebajikan yang bercahaya, padahal kita tidak tahu, tidak kenal siapa mereka? Tetapi kita dapat ikut merasakan penderitaan mereka. Lalu bagaimana dengan mereka yang justru memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan, melakukan penjarahan ke toko-toko, warung-warung, rumah-rumah, melarikan ternak yang telah ditinggalkan pemiliknya mengungsi? Kita yakin segala perbuatan, amal bakti tentu ada pahala dan hukuman dari Tuhan, itulah perlu kita sadari pentingnya ajaran agama, tidak ada dendam, dengki, atau selalu melihat kesalahan orang lain.

Tiga Program Delapan Pasal
Tiga Program Delapan Pasal adalah inti dari ajaran besar (Kitab Suci Agama Khonghucu) yang berisikan pembinaan diri
§        Menggemilangkan kebajikan yang bercahaya
§        Mengasihi sesama
§        Berhenti pada puncak kebaikan
Selanjutnya diuraikan dalam delapan pasal
§        Meneliti hakekat tiap perkara
§        Cukupkan pengetahuan
§        Meluruskan hati/mengendalikan nafsu
§        Mengimankan tekad
§        Membina diri
§        Membereskan rumah tangga
§        Mengabdi pada negara
§        Capai damai di dunia
Dalam Kitab Sabda Suci Jilid XV ayat 24 tertulis: Salah seorang murid Nabi Khongcu yang bernama Zi Gong bertanya, “Adakah satu kata yang bisa dijadikan pedoman seumur hidup?” Nabi Khongcu bersabda, “Itulah tepasarira. Apa yang diri sendiri tidak inginkan janganlah lakukan kepada orang lain”. Jadi kita tidak melakukan sesuatu yang mungkin saja akan merugikan orang lain, tetapi sesungguhnya yang paling menderita adalah kita sendiri, karena telah ingkar dari watak sejati, mengingkari hati nurani dan penyesalan seumur hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar